Setiap pagi, suara mendesis dari minyak panas dan aroma gorengan renyah menjadi pembuka hari di sebuah gang sempit di Bandung. Di sana, seorang wanita paruh baya sibuk menggoreng bala-bala, tahu isi, dan pisang goreng. Di sampingnya, seorang remaja duduk di bangku kayu, memegang buku matematika sambil sesekali melayani pembeli. mg4d Nama anak itu adalah Rangga.
Tak ada yang menyangka, remaja penjual gorengan itu akhirnya diterima di salah satu kampus teknik terbaik di Asia Tenggara—Institut Teknologi Bandung (ITB). Bukan karena keberuntungan, melainkan karena kerja keras, doa, dan tekad baja.
Awal Perjalanan dari Warung Tepi Jalan
Rangga adalah anak pertama dari pasangan Bu Sri dan Pak Darto. Sehari-hari mereka berjualan gorengan di depan rumah kontrakan sederhana. Ayahnya pernah menjadi sopir angkot, tapi harus berhenti karena penyakit stroke ringan. Sejak itu, penghasilan keluarga sepenuhnya ditopang dari warung kecil mereka.
Walaupun hidup pas-pasan, orang tua Rangga selalu menanamkan semangat pendidikan. “Kita boleh miskin uang, tapi jangan miskin mimpi,” begitu kata Pak Darto saat Rangga duduk di bangku SD. Kalimat itu terus terpatri di hati Rangga.
Setiap habis subuh, Rangga membantu ibunya menyiapkan dagangan: memotong kol, merendam tahu, mengaduk adonan. Setelah semua siap dan warung dibuka, ia berangkat sekolah dengan membawa bekal seadanya. Sepulang sekolah, ia kembali membantu sambil belajar di sela-sela waktu.
Penuh Rintangan, Tapi Tak Gentar
Di sekolah, Rangga dikenal sebagai anak yang pendiam tapi cerdas. Ia selalu duduk di barisan depan, mencatat dengan rapi, dan tak segan bertanya. Beberapa guru bahkan memberinya buku-buku tambahan karena tahu ia tak mampu membeli.
Namun, perjuangan tak selalu mulus. Pernah suatu hari, ia hampir tidak bisa ikut ujian karena belum membayar uang sekolah. Beruntung, gurunya memberi keringanan dan membiarkannya tetap ujian. Di lain waktu, sepatu Rangga jebol dan ia tetap datang ke sekolah dengan sandal jepit.
Meski begitu, Rangga tak pernah mengeluh. Ia tetap belajar dengan semangat. Ia sering meminjam buku di perpustakaan dan belajar hingga malam dengan cahaya lampu seadanya.
Ketika kelas 12, ia mulai serius mempersiapkan diri untuk ujian masuk perguruan tinggi. Cita-citanya: masuk ITB, jurusan Teknik Sipil. Alasannya sederhana, “Aku ingin bangun jalan dan jembatan untuk orang-orang di kampung agar tak terisolasi,” ujarnya suatu ketika.
Belajar di Tengah Deru Penggorengan
Tak seperti anak lain yang punya akses ke bimbingan belajar mahal atau ruang tenang, Rangga belajar di warung gorengan. Sambil menjaga dagangan, ia mengerjakan soal-soal ujian masuk, ditemani suara mendesis dan obrolan pembeli.
Ia hanya mengandalkan internet gratis dari WiFi sekolah yang bisa ia tangkap samar-samar dari rumah. Ia rajin mengunduh soal-soal try out, menonton video pembelajaran, dan mencatat poin-poin penting di buku tulis.
Pernah suatu malam, ketika listrik padam, Rangga tetap belajar dengan lilin. Ibunya sempat khawatir, tapi Rangga berkata, “Gelapnya malam tidak akan menggelapkan masa depanku.”
Ujian Masuk yang Menentukan Nasib
Ketika hari ujian SBMPTN tiba, Rangga berangkat dengan menumpang motor tetangganya. Ia hanya membawa bolpoin, pensil, dan kartu peserta. Ia duduk tenang di ruang ujian, meski dalam hatinya gemetar. Tapi ia percaya, semua perjuangannya akan terbayar.
Seminggu setelah ujian, Rangga kembali ke rutinitas warung gorengannya. Ia tak banyak berharap, karena tahu saingan masuk ITB sangat berat. Namun, ia tetap berdoa di setiap sujudnya, semoga Tuhan memberinya jalan.
Dan hari itu pun tiba.
“Selamat! Anda Diterima di Institut Teknologi Bandung”
Sore itu, Rangga baru saja selesai membantu ibunya menggoreng. Ia membuka laman pengumuman di ponsel pinjaman milik pamannya. Dengan jantung berdegup kencang, ia memasukkan nomor peserta.
Beberapa detik kemudian, muncul tulisan: “Selamat! Anda diterima di ITB, Program Studi Teknik Sipil.”
Rangga menatap layar itu lama, matanya berkaca-kaca. Ia berlari ke ibunya dan memeluk erat. Tangis bahagia pecah di warung sederhana itu. Ibu dan anak menangis sambil berpelukan di tengah tumpukan tahu dan tempe goreng.
Berita itu pun menyebar cepat. Warga sekitar yang mengenal Rangga ikut bangga. Beberapa bahkan menyumbang perlengkapan kuliah. Sekolahnya membuat pengumuman resmi dan memajang fotonya di mading sebagai “Alumni Inspiratif”.
Menginspirasi Ribuan Orang
Kisah Rangga akhirnya viral di media sosial setelah seorang guru menuliskannya di Facebook. Dalam waktu singkat, banyak media meliput kisahnya. Ia diundang ke televisi, diwawancarai radio, dan menjadi pembicara di seminar pendidikan.
Namun, Rangga tetap rendah hati. Ia selalu mengatakan, “Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya anak penjual gorengan yang beruntung punya orang tua yang tak pernah membiarkan saya menyerah.”
Kini Rangga aktif di berbagai kegiatan kampus. Ia juga menjadi mentor bagi adik-adik dari keluarga kurang mampu yang ingin masuk perguruan tinggi. Ia membentuk komunitas “Belajar dari Warung”, tempat berbagi materi belajar secara daring untuk anak-anak dari kalangan menengah ke bawah.
Penutup: Gorengan, Impian, dan Harapan
Kisah Rangga adalah bukti bahwa keterbatasan bukan alasan untuk menyerah. Bahwa dari warung gorengan yang panas dan sederhana, bisa lahir mimpi-mimpi besar. Ia bukan hanya berhasil masuk ITB, tapi juga berhasil membuktikan bahwa semangat dan ketulusan bisa menembus segala batas.
Rangga kini menulis buku berjudul “Panasnya Minyak, Hangatnya Mimpi”, berisi kisah perjuangannya dari anak penjual gorengan hingga diterima di ITB. Buku itu laris manis dan dibaca oleh ribuan pelajar di seluruh Indonesia.
Dari tepi jalan gang kecil di Bandung, suara gorengan yang mendesis kini terdengar berbeda. Bukan hanya aroma makanan, tapi juga aroma harapan. Dan di sana, di balik meja sederhana warung itu, duduk seorang ibu yang tak pernah menyerah, dan seorang anak yang membuktikan: mimpi besar bisa lahir dari warung kecil.